Meninjau Unsur Kemasyarakatan
Dalam Naskah Drama Nyonya-Nyonya Karya
Wisran Hadi
Dengan Menggunakan Metode Kajian Sosiologi Sastra
Dedi Irawan d_irawan157@yahoo.com |
Kehidupan sosial takan bisa dilepaskan dari karya sastra,
itu dikarenakan proses pembuatan sebuah karya sastra pasti ada pengaruh sosial
yang mendorongnya. Begitupun dalam karya sastranya, selalu ada penggambaran
tentang kehidupan sosial, dan pada dasarnya karya sastra itu dibuat untuk
memberikan efek terhadap para pembaca yang hakikatnya sebagai makhluk sosial.
Itu semua bisa kita dapatkan jika mengkaji unsur siosial atau kemasyarakatan
dalam sebuah karya sastra, termasuk dalam bentuk drama.
Untuk mengkaji unsur tersebut dapat digunakan salah satu
metode pengkajian karya sastra yaitu sosiologi sastra. Sosiologi sastra
merupakan gabungan dua disiplin ilmu atau interdisipliner yaitu sosiologi dan
sastra. Seperti yang kita ketahui bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
ilmu tentang fenomena, pola, dan seluk-beluk kehidupan sebuah masyarakat.
Seperti yang diungkapkan Soerjono Sukanto dalam Wiyatmi (2013),
bahwa sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi
kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum
kehidupan masyarakat. Maka penggabungan dua disiplin ilmu ini menghasilkan
sebuah ilmu yang mengkaji sastra dilihat dari dimensi social kemasyarakatan.
Sapardi Djoko Damono (1979), sebagai salah seorang ilmuwan yang mengembangkan pendekatan
sosiologi sastra di Indonesia, mengatakan bahwa karya sastra tidak jatuh begitu
saja dari langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan, sastra, dan
masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap karya sastra pun harus selalu
menempatkannya dalam bingkai yang tak terpisahkan dengan berbagai variabel,
seperti pengarang sebagai anggota masyarakat, kondisi sosial budaya, politik,
ekonomi yang ikut berperan dalam melahirkan karya sastra, serta pembaca yang
akan membaca, menikmati, serta memanfaatkan karya sastra tersebut.
Sejalan dengan pendapat di atas, dalam bukunya Theory
of Litetarure, Rene Wellek dan Austin Warren (1994), menawarkan adanya tiga
jenis sosiologi sastra, yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan
sosiologi pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Maka dalam hal ini, kita
bisa meninjau unsure kemasyarakatan itu dalam tiga dimensi. Pertama, dari dimensi pengarang. Kedua, dimensi karya sastra itu sendiri.
Ketiga, dimensi pembaca atau penikmat
karya sastra tersebut.
Sebagai mana disebutkan di atas, pada kesempatan ini
saya akan berusaha mengkaji unsure sosial dari sebuah bentuk karya sastra yaitu
drama dengan menggunakan metode pengkajian sosiologi sastra. Drama yang menjadi
objek pengkajian adalah drama Nyonya-Nyonya
karya Wisran Hadi.
1.
Sosiologi
pada Dimensi Pengarang
Ditinjau dari pengarang dan waktu drama ini dibuat oleh
pengarang daapat dijelaskan beberapa unsure sosial yang mewarnai terciptanya
drama tersebut. Naskah drama Nyonya-Nyonya karya Wisran Hadi
merupakan sebuah gambaran kondisi kehidupan yang sedang terjadi di dalam masyarakat Indonesia yakni, keserakahan
dan lemahnya jiwa. Kondisi masyarakat yang dimaksudkan adalah kondisi di mana
banyak orang sudah terpengaruh oleh keserakahan materi, masyarakat yang
mengalami penurunan moral akibat lemahnya jiwa seseorang dikarenakan materi semata. Misalnya, perilaku
korupsi yang tak henti-hentinya menghujam negeri ini.
Kehidupan sosial dan budaya yang
diceritakan dalam naskah drama Nyonya-nyonya
berasal dari daerah Minangkabau. Dalam adat Minangkabau, rasa perikemanusiaan
tidak pernah diabaikan oleh masyarakatnya sehingga adat yang asli tidak
terpengaruh oleh kebendaan (materi). Harta pusaka berupa segala kekayaan yang
berwujud (materi) yang nantinya akan diwariskan kepada anak kemenakan merupakan
bentuk struktur ekonomi di Minangkabau. Harta pusaka tersebut dinilai sebagai
alat pemersatu di dalam keluarga dan sampai sekarang ini masih berfungsi
sebagaimana mestinya. Akan tetapi, yang memprihatinkan adalah tidak hanya
sebagai alat pemersatu saja, malah terkadang harta pusaka sebagai milik bersama
tersebut justru sering menimbulkan perselisihan dan sengketa dalam keluarga di
Minangkabau.
Budaya dan adat Minangkabau telah
melarang masyarakatnya untuk tidak bersifat materialistik. Akan tetapi, untuk
sekarang ini di Minangkabau bahkan di daerah manapun, sifat meterialistik telah
menjadi sesuatu yang lumrah untuk dikerjakan karena dianggap sebagai
kepribadian yang wajar akibat modernisasi. Kesenangan akan beragam kebendaan
telah memanjakan hidup seseorang sehingga memicu kekrisisan moral. Apalagi
hidup di zaman sekarang yang terpenting adalah mencari uang sebanyak-banyaknya
untuk mempermudah hidup meskipun dengan cara yang tidak diperbolehkan. Dengan
demikian, kerasnya kehidupan sekarang menciptakan seseorang untuk berbuat
segala cara demi mendapatkan materi.
2.
Sosiologi pada Dimensi Karya Sastra
Dalam naskah drama Nyonya-nyonya masalah seperti uang, tawar-menawar, dan untung-rugi
banyak direpresentasikan dalam dialog. Permasalahan tersebut menjadi pemicu
munculnya konflik yakni, masalah motif harga diri, menjaga nama baik, dan
mempertahankan nilai-nilai adat budaya. Hal tersebut, membuktikan bahwa betapa
serakah dan lemahnya jiwa tokoh utama (Nyonya) hanya karena tawaran uang yang
tinggi. Meskipun motif dibalik itu adalah mempertahankan harga diri dan nama
baik, semua diabaikan demi kepentingan materi. Hal ini sama persis tergambar
jelas dalam kehidupan sehari-hari.
Bentuk perilaku materialistik itu mengacu kepada dua
macam yaitu, orientasi terhadap uang dan orientasi terhadap harta benda
(pusaka). Wisran Hadi dalam naskah drama Nyonya-Nyonya menggambarkan
bentuk perilaku materialistik melalui tokoh Nyonya. Orientasi terhadap uang
tergambar pada tokoh Nyonya yang tidak mampu menjaga nama baiknya dan bahkan
tidak sadar telah menjual harga dirinya demi uang. Berikut kutipan dialognya.
Tuan : Lima ratus
ribu. Terserah Nyonya. Nyonya lebih suka memilih penjara atau dimarahi suami?
Nyonya :
Ibuku tentu
akan memaki-makiku.
Tuan :
Terserah
Nyonya, kata saya. Masuk penjara dan nama baik Nyonya hancur atau…?
(MENYERAHKAN UANG DENGAN PAKSA)
Nyonya :
(MENERIMA UANG
ITU DENGAN GUGUP) Ya Tuhan. (MENCIUM UANG ITU BEBERAPA KALI) Jadi, tuan tidak
mengatakan pada siapa pun juga, bukan?
Selanjutnya, orientasi terhadap harta benda (pusaka)
telah membuktikan bahwa tokoh Nyonya merupakan seorang yang berperilaku materialistis.
Dilihat dari beberapa harta benda yang sudah Nyonya gadaikan kepada Tuan
(penjual barang antik) kerena tergiur akan tawaran uang yang tinggi. Berikut
kutipan dialognya.
Nyonya :
Tuan, kenaikan
dua puluh lima dari tawarn Tuan memperlambat proses jual beli. Terbukti Tuan
bukanlah pedagang yang pintar.
Tuan :
(MENGELUARKAN
UANG DARI TASNYA) Ini. Tujuh ratus ribu!
Nyonya :
O, o, Tuan. Apa
itu? Uang? Tujuh ratus ribu?
Tuan :
Tidak kurang
serupiah pun! (MENYERAHKAN UANG)
Nyonya :
(MENERIMA UANG
ITU DENGAN PENUH NAFSU, TAPI PURA-PURA GUGUP) Jadi, tuan membeli sebuah kursi
seharga tujuh ratus ribu? Tuan. Tuan. (PURA-PURA MENANGIS) Aku tidak akan
menjualnya, Tuan. (MENANGIS)
Perilaku materialistis tokoh Nyonya berdampak terhadap
dirinya sendiri dan keluarganya. Dampak terhadap dirinya sendiri terlihat dalam
keseharian Nyonya yang tidak merdeka hati dan selalu resah ketika menghadapi
Tuan dan ketiga keponakannya. Nyonya tidak merasa tenang karena
persoalan-persoalan yang berdatangan terhadap dirinya. Dilihat dari tokoh
Nyonya yang tidak bisa menjaga nama baik karena selalu tergiur tawaran tinggi
demi mendapatkan uang. Tidak hanya berupa benda mati seperti pekarang rumah,
empat petak marmer teras rumah, kursi tamu, kursi makan, dan tempat tidur yang
tergadai demi kepentingan untuk mendapatkan uang, sampai-sampai harga diri
Nyonya terbeli oleh Tuan. Berikut kutipan dialognya.
Ponakan A : Kamu takut kan?
Syukurlah. Aku akan takut, kalau kamu tidak `takut. Ayo, serahkan uang itu,
kalau tidak…. (MENIKAM-NIKAM PISAU ITU KE LANTAI)
Nyonya :
Jadi,… jadi…
kamu… perlu… uang. Baik. (MENGELUARKAN UANG DARI DALAM TAS) Ini.
Sedangkan, dampak terhadap keluarga Nyonya yaitu semua
perselisihan yang terjadi di dalam keluarga Nyonya diawali dari penjualan harta
pusaka yang dilakukan oleh suami Nyonya (Datuk). Pertengkaran, perselisihan,
dan kepura-puraan yang dilakukan demi mendapatkan uang, baik itu oleh Nyonya
maupun ketiga keponakannya. Sifat materialistis yang tertanam di dalam diri
tokoh Nyonya dan ketiga ponakannya merupakan gambaran hidup yang terjadi di
dalam masyarakat saat ini. Demi mendapatkan uang apapun akan dilakukan dan
tidak jadi persoalan apa yang akan terjadi selanjutnya. Berikut kutipan
dialognya.
Nyonya : Soal datukmu
dapat bicara atau tidak, itu urusan lain. Tapi, perlu kujelaskan padamu bahwa
aku sebagai isrinya telah berbuat lebih dari segalanya. Kalau suamiku itu punya
banyak kemenakan, coba mana kemenakannya yang datang atau ikut membantu biaya
perawatannya? Tidak seorang pun! Hanya kamu sendirilah yang datang, itu pun
untuk urusan tentang uang tanah pusakamu! Tapi benar juga, suamiku menganggap
bahwa kemenakannya yang banyak itu hanya tahu pada hak tapi tidak pada
kewajiban. Sudah begitu besarnya pengorbananku, aku malah dicurigai. Ekornya
nanti. Ekor persoalan begini tidak baik.
Ponakan A : mungkin uang
itu di bank.
Nyonya : Kamu boleh bongkar seluruh isi
rumahku ini. Tidak akan kamu temui surat-surat bank di sini. Jangankan surat
bank, surat kabar saja aku tidak pernah suka!
3. Sosiologi
pada Dimensi Pembaca
Dalam
dimensi ini yang ditinjau adalam efek atau dampak yang ditimbulkan pada
masyarakat pembaca dari drama tersebut. Secara tersirat pengarang ingin
menyampaikan amanat kepada pembaca agar mengetahui perilaku materialistis dan
keserakahan dalam harta benda yang bisa menjerumuskan pada hal-hal yang tidak
baik.
Perilaku materialistis di dalam masyarakat banyak
disebabkan oleh faktor ekonomi. Meskipun di satu sisi sifat
materialistis tersebut wajar-wajar saja apabila dalam hal persaingan ekonomi.
Akan tetapi, disisi yang lain sifat materialistik terkesan terlalu memaksakan
keinginan dikarenakan akan memunculkan beragam cara demi mendapatkan apa yang
diinginkan tersebut. Apalagi zaman sekarang, pada umumnya semua anggota
masyarakat sudah terkontaminasi oleh kepribadian materialistis. Sifat
materialistis yang berlebihan itu sangat buruk bagi masyarakat seperti halnya
tokoh Nyonya dalam naskah drama Nyonya-nyonya.
Keserakahan dan lemahnya jiwa menjadikan sifat
materialistis di dalam diri manusia semakin menjadi-jadi karena ditengarai oleh
faktor ekonomi, agama, dan budaya yang tidak berperan baik sebagaimana yang
diharapkan. Melalui naskah dramanya, Wisran Hadi berusaha untuk menyadarkan
masyarakat agar tidak mengikuti kebiasan-kebiasaan yang kurang baik serta tidak
terjebak dalam hidup kebendaan (materialisme).
Sifat materialistis sangat ditentang dalam agama
dikarenakan akan membawa manusia terpengaruh oleh situasi kebendaan dan non
agama dalam kehidupannya. Manusia yang mempunyai sifat materialistik akan
menganggap kurang penting persoalan agama dan apa saja yang terkait dengannya
termasuk wilayah etika dan aqidah. Padahal, dalam agama sudah jelas
melarang manusia untuk menumpuk harta benda karena manusia akan dimintai
pertanggung jawaban atas hartanya tersebut.
****SEKIAN****
Semoga Bermanfaat
0 komentar:
Post a Comment