ANAK SAYA PERLU MAKAN
DARI KUMPULAN CERPEN MANDI API
KARYA GDE ARYANTHA
SOETHAMA
Oleh
Dedi Irawan
DIKBASASINDA - STKIP SEBELAS APRIL SUMEDANG
Cerpen
:
Anak Saya Perlu Makan, Karya Gde Aryantha Soethama
Joko merasa
sangat bersalah. Awalnya ia berniat untuk membantu Rukminimesti menyediakan
uang Rp 1 juta.
“Di tempat ku
memang tak mengenal main sogok-sogokan,
tapi entah mengapa, rata-rata calon karyawan akhirnya nyogok,” ujar
Joko.
“ternyata ijazah
sarjana dan kecerdasan tak cukup ya?” gumam Rukmini.
Wanita ceking
itu akhirnya menyerahkan uang yang diminta Joko, karena sejak SMA mereka
bersahabat dan saling bantu. Ketika kuliah mereka satu kelompok diskusi dan
sering membuat makalah bersama-sama. Namun nasib Joko lebih baik. Ia mendapat
pekerjaan lebih dulu, sementara Rukmini harus menanggung aib sangat besar: ia
terjebak rayuan lelaki sudah beristri. Hubungan itu mungkin bisa selesai kalau
saja Rukmini tahu lebih awal. Ia baru tahu ketika sudah hamil tiga bulan. Dan
bagaimana pun mereka harus kawin.
Si leleki
kembali kepada istri pertama. Dan Rukmini mencoba hidup sendiri. Ia mencoba
meneruskan kuliah, kos, merawat anak, dan bekerja apa saja yang bisa memberinya
uang. Ia menjadi Sales promotionobat-obatan
dan furniture. Pekerjaannya berat,
gajinya kecil. Ia pernah menjadi pramuniaga. Kepada ayah dan ibunya ia mengatakan
akan bercerai, tapi ia berharap bisa dibantu uang bulanan untuk hidup dan
membesarkan anak. “Sampai saya punya pekerjaan tetap,” pintanya.
Dengan ijazah
sarjana ekonomi ia melamar disebuah bank. Dan Joko bersedia membantunya. Tabungan
Rp 1 juta ia relakan buat uang sogokan. Tapi ternyata itu belum cukup.
“Bos ternyata
mengincar kamu, Ruk,” kata Joko gamang.
“Tapi aku tak
kenal dia. Lagi pula aku sudah punya anak, tidak cantik.”
“Waktu wawancara
ia perhatikan kkamu dari balik kaca. Dan bos benar-benar naksir.”
“Apa di
mana-mana bos harus begitu?”
“Mana aku tahu.”
“Maksudku, apa
bosmu memang tipe lelaki yang suka memanfaatkan kesempatan?”
“Setahuku
tidak.”
“Lalu apa yang
dia harapkan dariku?”
Joko terhentak.
“Kupikir kamu tahu apa yang aku maksud.”
“Aku bisa
merabanya, tapi aku ingin detailnya.”
“Bos ingin
mengajakmu kencan.”
“Aku tahu. Ia
ingin tidur denganku. Tapi apa yang akan kuperoleh? Apa semua ini akan
berlangsung terus selama akau jadi karyawan di sana? Aku tak mau jadi gundik.”
“Aku memang sempat
dipanggil masalah ini. Katanya ia hanya ingin kencan sekali aja denganmu.”
“Apa jaminannya
hanya sekali?”
“Ah, aku tak
tahu. Kurasa kau bisa membicarakannya nanti dengan bos.”
“Baik aku terima
tawarannya.”
Joko terhentak.
Ia tak percaya kalimat Rukmini. Setahunya Rukmini wanita bersih. Sayang ia
tergelincir kedalam rengkuhan nasib buruk.
“Katakan pada
bosmu aku terima ajakannya. Suruh dia jemput aku di Pantai Sanur, dekat Beach
Market. Ku tunggu dia besok pukul tujuh malam. Aku ingin masalah ini cepat
selesai.”
“Kau serius,
Ruk?”
“Memangnya
kenapa?”
“Kupikir kau tak
usah meladeninya. Ini akan menjadi sejarah hidupmuyang buruk.”
“Hidupku sudah
sangat buruk, Jok. Biarkan aku terus melakoninya.”
“Tapi yang ini
jangan! Kau akan semakin terperosok.”
“Anakku perlu
makan, Jok. Ini awal dari kepastian. Pokonya sampaikan pada bosmu tentang
kencan besok malam. Jangan lupa.”
Rukmini berdiri
di pantai dengan perasaan gamang. Dikenakannya rok terusan merah pekat.
Sekali-kali ia menatap papan restoran di komplek Beach Market. Tiba-tiba ia
teringat anaknya yang ia titipkan di tetangga. Anak lelaki tiga tahun itu tentu
tak akan pernah tahu apa yang akan dikerjakan bundanya.
Sebuah mobil
sedan menyorotkan lampunya ke pantai. Dada Rukmini berdebar kencang. Seorang
lelaki dengan t-shirt putih kembang
merah dan ungu, bercelana jins, turun. Rukmini tak yakin kalau itu seorang
direktur bank yang punya sepuluh cabang. Ia menyongsongnya penuh hormat.
“Selamat malam,
Pak. Saya Rukmini.”
“Sudah lama
menunggu?”
Suara itu berat
sekali. Ia teringat pacarnya yang pertama ketika di semester tiga. Dimana
lelaki itu sekarang?
Lelaki itu
membukakannya pintu, mempersilahkannya masuk.
“Kemana kita
sekarang?”
“Terserah
Bapak.”
“Bagaimana kalau
di sini saja?”
“Di sini?”
Rukmini memandang lelaki itu. Matanya bagus. Tajam, bercahaya. Rambutnya
berombak sedikit dibagian belakang. Lehernya kukuh. Ia lelaki beruntung. Masih
muda. Umurnya pasti belum 40, tapi sudah kaya. Kelihatannya ia lelaki
sederhana. Mobilnya saja cukup Toyota DX tahun 1982. Atau ia berpura-pura
sederhana kalau menghadapi cewek, biar pasangan kencannya tak terlampau
menuntut duit?
“Memangnya
kenapa?”
“Bapak tidak
takut?”
“Takut sama
siapa? Takut sama hansip? Apa hak mereka mencampuri urusan pribadi mereka?”
Laki-laki itu
tertawa. Lalu ia menstarter mobilnya, melaju kebarat.
“Kamu tinggal di
mana?”
“Di Jalan Teuku
Umar.”
“Kita ke sana
saja.”
“Jangan Pak,
Jangan!”
“Kenapa?”