Menu

21 November 2014

METODE KAJIAN DRAMA INDONESIA


Meninjau Unsur Kemasyarakatan
Dalam Naskah Drama Nyonya-Nyonya Karya Wisran Hadi
Dengan Menggunakan Metode Kajian Sosiologi Sastra


Dedi Irawan
d_irawan157@yahoo.com



Kehidupan sosial takan bisa dilepaskan dari karya sastra, itu dikarenakan proses pembuatan sebuah karya sastra pasti ada pengaruh sosial yang mendorongnya. Begitupun dalam karya sastranya, selalu ada penggambaran tentang kehidupan sosial, dan pada dasarnya karya sastra itu dibuat untuk memberikan efek terhadap para pembaca yang hakikatnya sebagai makhluk sosial. Itu semua bisa kita dapatkan jika mengkaji unsur siosial atau kemasyarakatan dalam sebuah karya sastra, termasuk dalam bentuk drama.
Untuk mengkaji unsur tersebut dapat digunakan salah satu metode pengkajian karya sastra yaitu sosiologi sastra. Sosiologi sastra merupakan gabungan dua disiplin ilmu atau interdisipliner yaitu sosiologi dan sastra. Seperti yang kita ketahui bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ilmu tentang fenomena, pola, dan seluk-beluk kehidupan sebuah masyarakat. Seperti yang diungkapkan Soerjono Sukanto dalam Wiyatmi (2013), bahwa sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat. Maka penggabungan dua disiplin ilmu ini menghasilkan sebuah ilmu yang mengkaji sastra dilihat dari dimensi social kemasyarakatan.
Sapardi Djoko Damono (1979), sebagai salah  seorang ilmuwan yang mengembangkan pendekatan sosiologi sastra di Indonesia, mengatakan bahwa karya sastra tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap karya sastra pun harus selalu menempatkannya dalam bingkai yang tak terpisahkan dengan berbagai variabel, seperti pengarang sebagai anggota masyarakat, kondisi sosial budaya, politik, ekonomi yang ikut berperan dalam melahirkan karya sastra, serta pembaca yang akan membaca, menikmati, serta memanfaatkan karya sastra tersebut.
Sejalan dengan pendapat di atas, dalam bukunya Theory of Litetarure, Rene Wellek dan Austin Warren (1994), menawarkan adanya tiga jenis sosiologi sastra, yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Maka dalam hal ini, kita bisa meninjau unsure kemasyarakatan itu dalam tiga dimensi. Pertama, dari dimensi pengarang. Kedua, dimensi karya sastra itu sendiri. Ketiga, dimensi pembaca atau penikmat karya sastra tersebut.
Sebagai mana disebutkan di atas, pada kesempatan ini saya akan berusaha mengkaji unsure sosial dari sebuah bentuk karya sastra yaitu drama dengan menggunakan metode pengkajian sosiologi sastra. Drama yang menjadi objek pengkajian adalah drama Nyonya-Nyonya karya Wisran Hadi.

1.      Sosiologi pada Dimensi Pengarang
Ditinjau dari pengarang dan waktu drama ini dibuat oleh pengarang daapat dijelaskan beberapa unsure sosial yang mewarnai terciptanya drama tersebut. Naskah drama Nyonya-Nyonya karya Wisran Hadi merupakan sebuah gambaran kondisi kehidupan yang sedang terjadi di dalam masyarakat Indonesia yakni, keserakahan dan lemahnya jiwa. Kondisi masyarakat yang dimaksudkan adalah kondisi di mana banyak orang sudah terpengaruh oleh keserakahan materi, masyarakat yang mengalami penurunan moral akibat lemahnya jiwa seseorang dikarenakan materi semata. Misalnya, perilaku korupsi yang tak henti-hentinya menghujam negeri ini.
Kehidupan sosial dan budaya yang diceritakan dalam naskah drama Nyonya-nyonya berasal dari daerah Minangkabau. Dalam adat Minangkabau, rasa perikemanusiaan tidak pernah diabaikan oleh masyarakatnya sehingga adat yang asli tidak terpengaruh oleh kebendaan (materi). Harta pusaka berupa segala kekayaan yang berwujud (materi) yang nantinya akan diwariskan kepada anak kemenakan merupakan bentuk struktur ekonomi di Minangkabau. Harta pusaka tersebut dinilai sebagai alat pemersatu di dalam keluarga dan sampai sekarang ini masih berfungsi sebagaimana mestinya. Akan tetapi, yang memprihatinkan adalah tidak hanya sebagai alat pemersatu saja, malah terkadang harta pusaka sebagai milik bersama tersebut justru sering menimbulkan perselisihan dan sengketa dalam keluarga di Minangkabau.
Budaya dan adat Minangkabau telah melarang masyarakatnya untuk tidak bersifat materialistik. Akan tetapi, untuk sekarang ini di Minangkabau bahkan di daerah manapun, sifat meterialistik telah menjadi sesuatu yang lumrah untuk dikerjakan karena dianggap sebagai kepribadian yang wajar akibat modernisasi. Kesenangan akan beragam kebendaan telah memanjakan hidup seseorang sehingga memicu kekrisisan moral. Apalagi hidup di zaman sekarang yang terpenting adalah mencari uang sebanyak-banyaknya untuk mempermudah hidup meskipun dengan cara yang tidak diperbolehkan. Dengan demikian, kerasnya kehidupan sekarang menciptakan seseorang untuk berbuat segala cara demi mendapatkan materi.

2.      Sosiologi pada Dimensi Karya Sastra
Dalam naskah drama Nyonya-nyonya masalah seperti uang, tawar-menawar, dan untung-rugi banyak direpresentasikan dalam dialog. Permasalahan tersebut menjadi pemicu munculnya konflik yakni, masalah motif harga diri, menjaga nama baik, dan mempertahankan nilai-nilai adat budaya. Hal tersebut, membuktikan bahwa betapa serakah dan lemahnya jiwa tokoh utama (Nyonya) hanya karena tawaran uang yang tinggi. Meskipun motif dibalik itu adalah mempertahankan harga diri dan nama baik, semua diabaikan demi kepentingan materi. Hal ini sama persis tergambar jelas dalam kehidupan sehari-hari.
Bentuk perilaku materialistik itu mengacu kepada dua macam yaitu, orientasi terhadap uang dan orientasi terhadap harta benda (pusaka). Wisran Hadi dalam naskah drama Nyonya-Nyonya menggambarkan bentuk perilaku materialistik melalui tokoh Nyonya. Orientasi terhadap uang tergambar pada tokoh Nyonya yang tidak mampu menjaga nama baiknya dan bahkan tidak sadar telah menjual harga dirinya demi uang. Berikut kutipan dialognya.
Tuan               : Lima ratus ribu. Terserah Nyonya. Nyonya lebih suka memilih penjara atau dimarahi suami?
Nyonya          : Ibuku tentu akan memaki-makiku.
Tuan        : Terserah Nyonya, kata saya. Masuk penjara dan nama baik Nyonya hancur atau…? (MENYERAHKAN UANG DENGAN PAKSA)
Nyonya      : (MENERIMA UANG ITU DENGAN GUGUP) Ya Tuhan. (MENCIUM UANG ITU BEBERAPA KALI) Jadi, tuan tidak mengatakan pada siapa pun juga, bukan?
Selanjutnya, orientasi terhadap harta benda (pusaka) telah membuktikan bahwa tokoh Nyonya merupakan seorang yang berperilaku materialistis. Dilihat dari beberapa harta benda yang sudah Nyonya gadaikan kepada Tuan (penjual barang antik) kerena tergiur akan tawaran uang yang tinggi. Berikut kutipan dialognya.
Nyonya          : Tuan, kenaikan dua puluh lima dari tawarn Tuan memperlambat proses jual beli. Terbukti Tuan bukanlah pedagang yang pintar.
Tuan                 : (MENGELUARKAN UANG DARI TASNYA) Ini. Tujuh ratus ribu!
Nyonya            : O, o, Tuan. Apa itu? Uang? Tujuh ratus ribu?
Tuan                 : Tidak kurang serupiah pun! (MENYERAHKAN UANG)
Nyonya            : (MENERIMA UANG ITU DENGAN PENUH NAFSU, TAPI PURA-PURA GUGUP) Jadi, tuan membeli sebuah kursi seharga tujuh ratus ribu? Tuan. Tuan. (PURA-PURA MENANGIS) Aku tidak akan menjualnya, Tuan. (MENANGIS)
Perilaku materialistis tokoh Nyonya berdampak terhadap dirinya sendiri dan keluarganya. Dampak terhadap dirinya sendiri terlihat dalam keseharian Nyonya yang tidak merdeka hati dan selalu resah ketika menghadapi Tuan dan ketiga keponakannya. Nyonya tidak merasa tenang karena persoalan-persoalan yang berdatangan terhadap dirinya. Dilihat dari tokoh Nyonya yang tidak bisa menjaga nama baik karena selalu tergiur tawaran tinggi demi mendapatkan uang. Tidak hanya berupa benda mati seperti pekarang rumah, empat petak marmer teras rumah, kursi tamu, kursi makan, dan tempat tidur yang tergadai demi kepentingan untuk mendapatkan uang, sampai-sampai harga diri Nyonya terbeli oleh Tuan. Berikut kutipan dialognya.
Ponakan A     : Kamu takut kan? Syukurlah. Aku akan takut, kalau kamu tidak `takut. Ayo, serahkan uang itu, kalau tidak…. (MENIKAM-NIKAM PISAU ITU KE LANTAI)
Nyonya          : Jadi,… jadi… kamu… perlu… uang. Baik. (MENGELUARKAN UANG DARI DALAM TAS) Ini.
Sedangkan, dampak terhadap keluarga Nyonya yaitu semua perselisihan yang terjadi di dalam keluarga Nyonya diawali dari penjualan harta pusaka yang dilakukan oleh suami Nyonya (Datuk). Pertengkaran, perselisihan, dan kepura-puraan yang dilakukan demi mendapatkan uang, baik itu oleh Nyonya maupun ketiga keponakannya. Sifat materialistis yang tertanam di dalam diri tokoh Nyonya dan ketiga ponakannya merupakan gambaran hidup yang terjadi di dalam masyarakat saat ini. Demi mendapatkan uang apapun akan dilakukan dan tidak jadi persoalan apa yang akan terjadi selanjutnya. Berikut kutipan dialognya.
Nyonya           : Soal datukmu dapat bicara atau tidak, itu urusan lain. Tapi, perlu kujelaskan padamu bahwa aku sebagai isrinya telah berbuat lebih dari segalanya. Kalau suamiku itu punya banyak kemenakan, coba mana kemenakannya yang datang atau ikut membantu biaya perawatannya? Tidak seorang pun! Hanya kamu sendirilah yang datang, itu pun untuk urusan tentang uang tanah pusakamu! Tapi benar juga, suamiku menganggap bahwa kemenakannya yang banyak itu hanya tahu pada hak tapi tidak pada kewajiban. Sudah begitu besarnya pengorbananku, aku malah dicurigai. Ekornya nanti. Ekor persoalan begini tidak baik.
Ponakan A      : mungkin uang itu di bank.
Nyonya          : Kamu boleh bongkar seluruh isi rumahku ini. Tidak akan kamu temui surat-surat bank di sini. Jangankan surat bank, surat kabar saja aku tidak pernah suka!

3.      Sosiologi pada Dimensi Pembaca
Dalam dimensi ini yang ditinjau adalam efek atau dampak yang ditimbulkan pada masyarakat pembaca dari drama tersebut. Secara tersirat pengarang ingin menyampaikan amanat kepada pembaca agar mengetahui perilaku materialistis dan keserakahan dalam harta benda yang bisa menjerumuskan pada hal-hal yang tidak baik.
Perilaku materialistis di dalam masyarakat banyak disebabkan oleh faktor ekonomi. Meskipun di satu sisi sifat materialistis tersebut wajar-wajar saja apabila dalam hal persaingan ekonomi. Akan tetapi, disisi yang lain sifat materialistik terkesan terlalu memaksakan keinginan dikarenakan akan memunculkan beragam cara demi mendapatkan apa yang diinginkan tersebut. Apalagi zaman sekarang, pada umumnya semua anggota masyarakat sudah terkontaminasi oleh kepribadian materialistis. Sifat materialistis yang berlebihan itu sangat buruk bagi masyarakat seperti halnya tokoh Nyonya dalam naskah drama Nyonya-nyonya.
Keserakahan dan lemahnya jiwa menjadikan sifat materialistis di dalam diri manusia semakin menjadi-jadi karena ditengarai oleh faktor ekonomi, agama, dan budaya yang tidak berperan baik sebagaimana yang diharapkan. Melalui naskah dramanya, Wisran Hadi berusaha untuk menyadarkan masyarakat agar tidak mengikuti kebiasan-kebiasaan yang kurang baik serta tidak terjebak dalam hidup kebendaan (materialisme).
Sifat materialistis sangat ditentang dalam agama dikarenakan akan membawa manusia terpengaruh oleh situasi kebendaan dan non agama dalam kehidupannya. Manusia yang mempunyai sifat materialistik akan menganggap kurang penting persoalan agama dan apa saja yang terkait dengannya termasuk wilayah etika dan aqidah. Padahal, dalam agama sudah jelas melarang manusia untuk menumpuk harta benda karena manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas hartanya tersebut.
****SEKIAN**** 
Semoga Bermanfaat

15 November 2014

JANGAN SAMPAI LUPAKAN IBADAH


Bukan Menggurui, Tapi Mengingatkan....!!! 
Assalamualaikum Saudaraku!
Sibuk apa nih? Sempatkah beribadah? Sempatkah mengabdikan diri kita kepada Allah? Kalau belum sempat, Sempatkanlah!!!!
Kehidupan ini kalau hanya cape-cape mengurus dunia,  mengumpulkan harta, rugi rasanya. Tugas kita sebagai makhluk itu kan untuk beribadah.
Coba kita pikirkan, awalnya kita itu dari mana? Sekarang dimana? Terus nantinya mau kemana?
Manusia diciptakan tentu tidak tanpa alasan, tentu tidak tanpa tujuan. Ibadahlah ketika kita hidup, jangan sia-siakan waktu ini, mencari itu bukan hanya harta atau bekal hidup yang hanya sementara, tapi cari dan kumpulkan juga bekal untuk akhirat. Jangan lupa itu. Toh kita semua akan mati, menghadapi penghisaban, pada akhirnya surga atau neraka yang akan kita tempati tergantung amal kita sekarang di dunia.
Mungpung kita masih ada kesempatan, masih diberikan sehat, masih diberikan hidup, masing ada dalam kelapangan, mari beribadah.
Nah, kalau begitu kita harus meninggalkan urusan dunia??? Jawabannya TIDAK.
Jangan kita pisahkan antara dunia dan akhirat, sebisa mungkin kita sinergikan antara keduanya. Bagaimana caranya? Kita ambil tujuan dulu hidup ini untuk ibadah kepada Allah. Dengan tujuan itu kita akan mengerjakan semua amal dan kegiatan berlandaskan ibadah, berlandaskan  pada  tugas kita untuk ibadah. Kegiatan yang kita sebut kegiatan dunia itu bisa kita ubah menjadi kegiatan bernilai akhirat. Caranya dengan NIAT. Niatkan dalam hati semua yang kita lakukan untuk beribadah.
Analoginya begini, jika kita mempunyai tujuan  pergi ke Jakarta, pasti kota Bandung, Purwakarta, akan kita lewati dan dapat kita kunjungi. Tapi apabila kita bertujuan pergi ke Bandung, tak mungkin mungkin bisa singgah dulu di Jakarta (kalau kota awalnya dari Majalengka tentu saja, hehehe). Nah, kalau semuanya karena tujuan akhirat, karena ingin mencari rido Allah Swt. insya Allah semua urusan akan lebih bermanfaat baik untuk  kehidupan dunia ataupun urusan akhirat.
Jadi. Ingat!! Ibadah bukan hanya salat, membaca Al-quran, puasa, tapi semua hal bisa kita jadikan ibadah. Niatkanlah karena Allah. Mari kita mulai. Bismillah
********