Alih
Kode
1.
Pengertian
Alih Kode
Ada beberapa pengertian
mengenai alih kode yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya;
a. Apple
(1976) mendefinisikan alih kode sebagai, “ gejala peralihan pemakaian bahasa
karena berubahnya situasi".
Situasi disini,
contohnya ada dua orang sunda yang berbahasa ibu sunda berbincang dengan
menggunakan bahasa sunda kemudian setelah beberapa menit datang orang Tapanuli
yang tidak bisa menggunakan bahasa sunda sehingga mereka berubah ketiga orang
tersebut memakai bahasa indonesia. Situasi “kesundaan” yang berubah menjadi
situasi “keindonesiaan” karena ada salah satu yang tidak mengerti bahasa sunda.
Secara sosial perubahan perubahan bahasa itu memang harus dilakukan, sebab
sangatlah tidak pantas dan tidak etis secara sosial untuk menggunakan bahasa
yang tidak dimengerti oleh orang ketiga.oleh sebab itu, alih kode ini dapat
dikatakan mempunyai fungsi sosial.
b. Hymes
(1878: 103) alih kode itu bukan hanya
terjadi antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau
gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Yaitu misalnya perubahan antara
ragam santai dan ragam resmi bahasa indonesia. Lengkapnya hymes mengemukakan “
code switching has become a common term for alternate us of two or more
language, varieties of languange, or even speech styles”.
Dari kedua pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa alih kode adalah peristiwa pergantian bahasa yang digunakan
dari bahasa sunda ke bahasa indonesia, atau berubahnya dari ragam santai
menjadi ragam resmi, tau juga ragam resmi ke ragam santai.
2
Penyebab
Terjadinya Alih kode
a. Penyebab
terjadinya alih kode menurut Fishman (1976 : 15) yaitu :
1. Siapa
yang berbicara;
2. Dengan
bahasa apa;
3. Kepada
siapa;
4. Kapan;
5. Dengan
tujuan apa.
b.
Penyebab terjadinya
alih kode dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum antara lain adalah,
1. Pembicara
atau penutur;
2. Pendengar
atau lawan tutur;
3. Perubahan
situasi karena hadirnya orang ketiga;
4. Perubahan
formal ke informal atau sebaliknya;
5. Perubahan
topik pembicaraan.
c.
Menurut Widjajakusumah
terjadinya alih kode dari bahasa Sunda ke
bahasa Indonesia adalah karena :
1. Kehadiran
orang ketiga;
2. Perpindahan
topik dari yang nonteknis ke yang teknis;
3. Beralihnya
suasana berbicara;
4. Ingin
dianggap terpelajar;
5. Ingin
menjauhkan jarak;
6. Menghindarkan
adanya bentuk kasar dan halus dalam bahasa sunda;
7. Mengutip
pembicaraan orang lain;
8. Terpengaruh
lawan bicara yang beralih ke bahasa Indonesia;
9. Mitra
bicaranya lebih mudah;
10. Berada
ditempat umum;
11. Menunjukkan
bahasa pertamanya bukan bahasa sunda;
12. Beralih
media/sara bicara.
Sedangkan penyebab alih kode dari bahasa
Indonesia ke bahasa Sunda dalah karena :
1. Perginya
orang ketiga;
2. Topiknya
beralih dari hal teknis ke hal nonteknis;
3. Suasana
beralih dari resmi ketidak resmi; dari situasi kesundaan keindonesiaan
4. Merasa
ganjil untuk tidak berbahasa sunda dengan orang sekampung;
5. Ingin
mendekatkan jarak;
6. Ingin
beradab-adab dengan menggunakan bahasa sunda halus, dan berakrab-akrab dengan
bahasa sunda kasar;
7. Mengutip
dari peristiwa bicara yang lain;
8. Terpengaruh
oleh lawan bicara yang berbahasa sunda;
9. Perginya
generasi muda, mitra bicara lain yang lebih muda;
10. Merasa
dirumah sendiri, bukan ditempat umum;
11. Ingin
menunjukkan bahasa pertamanya adalah bahasa sunda;
12. Beralih
bicara biasa tanpa ala-alat seperti telepon.
3
Contoh
Ilustrasi Alih kode
1. Alih
kode berikut dari bahasa Sunda ke bahasa indonesia ( diangkat dari
Widjajakusumah 1981).
Latar belakang : kompleks perumahan guru di Bandung.
Para pembicara : Ibu-ibu rumah tangga. Ibu Susi dan
Ibu Heni orang sunda, dan Ibu Novi
orang Minang yang tidak bisa berbahasa sunda.
Topik : air ledeng tidak
keluar.
Sebab Alih kode : kehadiran Ibu Novi dalam peristiwa
tutur.
Peristiwa tutur :
Ibu Susi : Bu Heni, kumaha cai
tadi wengi? Di abdi mah tabuh sapuluh nembe ngocor, kitu ge alit.
Ibu Heni : Sami atuh. Kumaha ibu
Novi yeuh, “kan biasanya baik.
Keterangan
: yang memakai garis bawah bahasa indonesia dan yang tidak bahasa sunda.
Perubahan
bahasa diatas karena ada salah satu diantara mereka yang tidak menguasai bahasa sunda.
2. Alih
kode dari situasi formal menjadi tidak formal diangkat dari Soewito (1983)
berupa percakapan anatara seorang sekreataris (S) dengan majikan (M).
S : Apakah bapak sudah jadi membuat lampiran
surat ini?
M :O, ya, sudah. Inilah!
S
: surat ini berisi permintaan borongan
untuk memperbaiki kantor sebelah. Saya sudah kenal dia. Orangnya baik, banyak relasi, dan tidak
banyak mencari untung. Lha saiki yen usahan maju kudu wani ngon ( ......
sekarang jika ingin usahanya maju harur berani bertindak demikian )
S
: Panci ngaten, Pak ( memang begitu,
Pak)
M : Panci ngaten piye? ( memang begitu
bagaimana? )
S :
Tegesipunmbok modalipun kados menapa, menawi ( maksud-nya, betapapun besarnya modal kalau...)
M : Menawa ora akeh
hubungane lan olehe mbathi kakehan, usahane ora bakal dadi. Ngono karepmu? ( kalau tidak
banyak hubungan, dan terlalu banyak ngambil untung usahanya tidak akan jadi.
Begutu maksumu? )
S : Lha inggih ngaten!
( memang begitu bukan?)
M : O, ya, apa surat
untuk Jakarta kemarin sudah jadi di kirim?
S : Sudah, Pak.
Bersaman dengan surat Pak Ridwan dengan kilat khusus.
Keterangan : bahasa
indonesia sebagai situasi formal dan bahasa jawa sebagai situasi tidak formal.
4
Macam
macam Alih kode
a. Alih
kode intern
Alih kode intern adalah
alih kode yang berlangsung antara bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia
ke bahasa Jawa, atau sebaliknya.
b. Alih
kode ekstern
Alih kode ekstern
adalah terjadi antara bahasa sendiri ( salah satu bahasa atau ragam yang ada
dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.
Campur
Kode
Campur kode (code-mixing) terjadi
apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu
tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan
dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosil, tingkat pendidikan,
rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi
informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa
tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain,
walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense
kebahasaan (linguistic convergence).
1
Pengertian
campur kode
Ada beberapa pengertian
camput kode yang dapat kita liahat, diantaranya;
a. Campur
kode adalah digunakannya serpihan-serpihan dari bahasa lain dalam menggunakan
suatu bahasa, yang mungkin diperlukan sehingga tidak dianggap suatu kesalahan.
b. Thelander (1976; 103) mencoba menjelaskan
perbedaan alih kode dan campur kode
katanya, bila didalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu
klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah
alih kode, tetapi apabila didalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa atau
frase-frase yang digunakan terdiri dari kaluasa dan frase campuran (hybrid
clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi
mendukung fungsi-fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah
campur kode.
c. Fasold
(1984) kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia
telah melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki
satu gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur
gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
Seperti halnya alih
kode, campur kode juga dibagi menjadi dua macam:
a. Campur
kode ke dalam (Innercode mixing), yaitu campur kode yang bersumber dari bahasa
asli dengan segala variasinya.
b. Campur
kode ke luar (Outercode mixing), yaitu campur kode yang berasal dari bahasa
asing.
Ada beberapa wujud
dalam campur kode ini, diantaranya:
a. penyisipan
kata,
b. menyisipan
frasa,
c. penyisipan
klausa,
d. penyisipan
ungkapan atau idiom, dan
e. penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan
asli dan asing).
Percakapan yang dilakukan oleh para
penutur dwibahasawan Indonesia-cina Putunghoa di jakarta, diangkat dari laporan
Haryono (1990).
Lokasi : dibagian iklan kantor surat kabar harian
Indonesia
Bahasa : Indonesia dam cina putunghoa
Waktu : senin, 18 November 1998, pukul 11.00 WIB
Penutur : informan III
(inf) dan pemasang iklan (PI)
Topik : memilih halaman untuk memasang iklan.
Inf
III : ni mau pasang dihalaman berapa? (
anda, mau pasang di halaman berapa?)
PI : Di baban aja deh ( halaman delapan
sajalah)
Inf
III : mei you a ! kalau mau dihalaman
lain; baiel di baban penuh lho! Nggak ada lagi ! ( kalau mau di halaman lain. Hari
selasa halaman delapan penuh lho. Tidak ada lagi)
PI : na wa xian gaosu wodejingli ba. Ta
yao de di baban a ( kalau demikian saya beritahukan direktur dulu. Dia maunya
dihalaman delapan ).
Inf
III : hao, ni guosu ta ba. Jintian
degoang goa hen duo. Kalau mau ni buru-buru datang lagi ( baik, kamu beri tahu
dia. Iklan hari ini sangat banyak, kalau mau kamu harus segera datang lagi).
3
Persamaan
dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Persamaan alih kode dan campur kode
adalah kedua peristiwa ini lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam
menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata,
yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih
memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena
sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode
dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang
terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces)
saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya
disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan
bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa
Indonesia kejawa-jawaan.
Thelander mebedakan alih kode dan
campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari
satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode.
Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan
terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan
masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri
disebut sebagai campur kode.
SIMPULAN
Dari
pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Alih kode (code switching) adalah
peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya penutur
menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode
merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (languagedependency) dalam
masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang
penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing
bahasa masih cenderung mengdukung fungsi masing-masing dan dan masing-masing
fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel memberikan batasan alih kode sebagai
gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi.
Campur
kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa
secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya.
Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar
belakang sosil, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya
berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan
bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada
keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi.
Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).
Persamaan
alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazim terjadi dalam
masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat
perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa
yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar,
dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah
kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi,
sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut
hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah
kode
0 komentar:
Post a Comment